Pajak Kripto dalam Regulasi Nasional: Solusi Fiskal atau Masalah Baru di Era Digital?
AfgNews - Indonesia memasuki babak baru dalam dunia
perpajakan digital. Seiring pesatnya perkembangan teknologi keuangan, terutama
aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum, pemerintah memutuskan untuk
mengenakan pajak atas transaksi kripto. Kebijakan ini resmi berlaku sejak Mei
2022 dan masih menuai pro dan kontra hingga pertengahan 2025. Namun
pertanyaannya kini bukan lagi sekadar soal besar kecilnya pungutan, melainkan:
apakah pajak kripto benar-benar menjadi solusi fiskal, atau justru memunculkan
tantangan baru di tengah era regulasi digital yang kompleks?
Kripto, atau cryptocurrency, adalah
bentuk aset digital yang menggunakan teknologi blockchain sebagai basis
pencatatan transaksi. Kripto tidak dikelola oleh satu otoritas pusat seperti
bank, dan inilah yang membuatnya sangat menarik, sekaligus menantang, untuk
diatur oleh negara. Di Indonesia, aset kripto belum dianggap sebagai alat
pembayaran yang sah, tetapi diperbolehkan untuk diperdagangkan sebagai
komoditas.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan bahwa setiap transaksi kripto dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final sebesar 0,1% dari nilai transaksi. Kenapa tidak Pajak Pertambahan Nilai (PPN)? Mulai 1 Agustus 2025, transaksi mata uang kripto tidak lagi dikenakan PPN. Karena sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 tahun 2025, mata uang kripto telah menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22. Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk menambah penerimaan negara, serta menjawab tantangan regulasi atas aktivitas ekonomi digital yang semakin luas. "Yang berubah di PMK baru, PPN tidak dikenai lagi karena sudah masuk kriteria karakteristik sebagai surat berharga," kata Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto dalam detikfinance, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Dari perspektif fiskal, pemerintah membutuhkan sumber pembiayaan baru. Krisis global pasca-pandemi COVID-19 dan ketegangan geopolitik dunia telah mendorong banyak negara mencari sumber pendapatan alternatif. Pasar kripto yang tumbuh hingga triliunan rupiah di Indonesia tentu tidak bisa luput dari radar fiskal. Selain itu, regulasi pajak juga dipandang sebagai upaya menghadirkan keadilan ekonomi. Ketika pelaku usaha konvensional dikenakan pajak, maka entitas digital pun harus tunduk pada sistem yang sama. Di sinilah konsep fairness dalam kebijakan fiskal dicoba untuk diterapkan. Bagi masyarakat awam yang belum familiar dengan konsep fiskal dan perpajakan digital, penerapan pajak ini bisa menjadi bumerang. Belum banyak edukasi publik yang menyasar akar masalah, bahwa pajak kripto bukan sekadar pungutan, tetapi bagian dari transformasi fiskal digital yang sedang berlangsung.
Hal senada juga disampaikan dalam laporan Bloomberg Crypto Outlook edisi 2025. Disebutkan bahwa salah satu risiko terbesar dari kebijakan pajak digital adalah brain drain dan capital outflow. Artinya, pelaku pasar bisa lari ke luar negeri yang regulasinya lebih longgar. Oleh karena itu, artikel Bloomberg pada pertengahan 2025 tersebut juga mencatat bagaimana serapan modal besar kripto mulai melibatkan strategi Wall Street, yang bisa menyebabkan capital outflow ketika regulasi di satu negara dinilai terlalu ketat. Pemerintah menyadari tantangan ini. Oleh karena itu, pada akhir 2024, Kementerian Keuangan bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bappebti mulai menyusun ekosistem regulasi kripto nasional. Salah satu fokusnya adalah membentuk bursa kripto resmi Indonesia dan meningkatkan edukasi fiskal digital kepada masyarakat melalui kanal media sosial dan institusi pendidikan.
Menteri Keuangan, Sri
Mulyani Indrawati,
menegaskan bahwa digitalisasi ekonomi memiliki peran sangat strategis dalam
memperkuat ekonomi ASEAN dan Indonesia. “"Potensi Perekonomian $1 triliun
pada tahun 2030 (berdasarkan studi Boston Consulting Group) bisa jadi mencapai
$2 triliun jika kita mengakselerasi Digital Economic Framework Agreement yang
telah diadopsi oleh para pemimpin ASEAN pada Keketuaan Indonesia di tahun 2023
lalu," – Ujarnya, dikutip dalam Website
Kementrian Keuangan.
Perlu dicatat bahwa Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengenakan pajak kripto. Negara seperti Jepang, Australia, hingga India juga menerapkan sistem pajak serupa. Bahkan di Amerika Serikat, pelaporan transaksi kripto kini diwajibkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) tahunan. Namun setiap negara menghadapi tantangan masing-masing. Di India, penerapan pajak yang terlalu tinggi justru membuat volume perdagangan menurun drastis. Sementara di Jepang, sistem perpajakan kripto justru mendorong pengembangan teknologi blockchain yang lebih kuat.
Pajak kripto adalah refleksi dari pergeseran paradigma fiskal di era digital. Di satu sisi, ini adalah strategi realistis untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun di sisi lain, ia memunculkan dilema baru: kesiapan masyarakat, transparansi regulasi, dan perlindungan konsumen. Jika tidak dikawal secara cermat, kebijakan ini bisa menjadi beban baru yang justru menjauhkan publik dari semangat digitalisasi ekonomi. Namun bila disertai dengan edukasi dan sistem yang adil, pajak kripto bisa menjadi pionir kebijakan fiskal digital yang progresif. Bagi masyarakat umum, mungkin pertanyaan tentang pajak kripto terasa rumit. Namun pada akhirnya, semua ini kembali ke pertanyaan dasar: apakah negara hadir hanya sebagai pemungut, atau sebagai pelayan yang menciptakan ruang digital yang adil, aman, dan inklusif?
Dan di sinilah peran kita sebagai publik:
untuk terus belajar, bertanya, dan ikut serta dalam membentuk arah regulasi
digital bangsa. Siapkah kita belajar untuk hari ini dan masa depan?